Alumni Master Of Urban dan
Regional Planning Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Staf Bapelitbangda Kab. Bangka
Selatan
Menyoal Citra Kota Toboali
Kota sebagai panggung kenangan, cerminan wajah dari
karakter sosial budaya dan aktivitas ekonomi warganya secara visual. Antara “City” dan “Citizen” terdapat keterkaitan yang sangat dekat, saling menjalin,
saling pengaruh mempengaruhi. Tak heran bila Churchil selaku negarawan pernah
mengatakan bahwa “manusia membentuk kota dan kemudian kota akan membentuk
manusia. Penulis yakin bahwa Para pemangku kebijakan yang notabene terlibat dan
bertanggung jawab sebagai planner dan
designer perencana dan perancang kota
tidak boleh terlena dengan membiarkan bahwa “kota sudah terbentuk secara
organik dengan sendirinya dan kita mengalami adaptasi yang terlambat”.
Pelaksanaan pembangunan kota yang baik memerlukan sebuah pelaksanaan
perancangan kota yang baik juga. Hal tersebut tidak selalu diakui karena secara
politis sering dianggap bahwa pelaksanaan pembangunan infrastruktur perkotaan
sudah berjalan. Namun penulis melihat bahwa pembangunan infrastruktur perkotaan
selama ini tidak melalui perencanaan dan perancangan kota secara baik.
Pelaksanaan proses pembangunan perkotaan tersebut sangat perlu didampingi oleh
perancangan yang memperhatikan kota secara fisik, yaitu bagaimana kota
berkembang di dalam ruang tiga dimensi dan bagaimana prosesnya (dimensi waktu),
serta apa dan siapa yang terlibat secra konkret di dalam proses pembangunan
tersebut. Sepatutnya para pemangku kebijakan pembangunan perkotaan harus dapat
membetahkan warganya. Nyaman dihuni dan enak dilihat. Ibarat puisi yang
menyentuh senar-senar emosi. Keunikan perilaku warga kota, kekhasan adat
istiadatnya, beragam lokasi geografis dan iklimnya, variasi seni-kriya yang
diciptakannya, semua itu berkontribusi terhadap penampilan citra kota suatu
wilayah yang berbeda dengan penampilan wajah kota lainnya.
Membahas tentang citra kota sangat subjektif karena
merupakan persepsi. Persepsi setiap orang berbeda-beda, hal ini dipengaruhi
oleh tingkat pendidikan, pengalaman yang dialami, sudut pengamatan, dan
lain-lain. Namun secara kualitatif hal ini dapat disimpulkan dengan pendekatan-pendekatan/metode sederhana ataupun juga Rafid Appraisal. Suatu contoh yang paling sederhana adalah
bagaimana persepsi kita melihat kesan antara Kota Koba sebagai Ibu Kota Bangka
Tengah dengan Kota Toboali sebagai Ibu Kota Bangka Selatan. Penulis yakin
meskipun tidak perlu dilakukan penelitian dengan metode dan instrumen yang
kuantitatif, hasilnya adalah Kota Koba lebih berkesan dibandingkan Kota
Toboali. Kesan ini yang secara tidak sengaja membuat image bahwa percepatan pembangunan di Kabupaten Bangka Tengah lebih
berhasil dibandingkan dengan Kabupaten Bangka Selatan. Padahal parameter
keberhasilan pembangunan tidak sesederhana itu. Sejauhmana kontribusi sektor
dalam menentukan angka Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), bagaimana LQ dan shifshare sektor tertentu, bagaimana analisis Input Output Produk, Human
Development Index dan lain-lain merupakan suatu indikator utuh dalam
mengevaluasi kemajuan pembangunan kewilayahan. Tapi terlepas dari semua itu,
strategi seorang pengambil kebijakan dalam memberikan image/citra pembangunan
di wilayahnya merupakan suatu hal yang menentukan.
Lynch, (1975: 6-8) dalam bukunya “The Image of The City” Citra kota dapat disebut juga sebagai
kesan atau persepsi antara pengamat dengan lingkungannya. Kesan pengamat
terhadap lingkungannya tergantung dari kemampuan beradaptasi “pengamat” dalam
menyeleksi, mengorganisir sehingga lingkungan yang diamatinya akan memberikan
perbedaan dan keterhubungan. Persepsi atau perceive
dapat diartikan sebagai pengamatan yang dilakukan secara langsung dikaitkan
dengan suatu makna. Citra kota belum tentu merupakan identitas. Citra Kota
dapat dibuat secara instan, sedangkan identitas membutuhkan waktu yang lama
untuk membentuknya. Jati diri kota berkaitan dengan ritme sejarah yang telah
melalui proses panjang sehingga jati diri suatu kota tidak dapat diciptakan
begitu saja berbeda dengan citra kota.
Selanjutnya Linch menjelaskan bahwa sebuah citra
memerlukan identitas pada sebuah obyek atau sesuatu yang berbeda dengan yang
lain, struktur atau pola saling hubungan antara obyek dan pengamat serta obyek
tersebut mempunyai makna bagi pengamatnya. Citra/kesan/wajah pada sebuah kota
merupakan kesan yang diberikan oleh orang banyak bukan individual. Citra kota
lebih ditekankan pada lingkungan fisik atau sebagai kualitas sebuah obyek fisik
(seperti warna, struktur yang kuat, dll), sehingga akan menimbulkan bentuk yang
berbeda,bagus dan menarik perhatian. Elemen pembentuk citra kota menurut Kevin
Lynch yang pertama adalah Paths yang merupakan suatu jalur
yang digunakan oleh pengamat untuk bergerak atau berpindah tempat. Menjadi elemen utama karena pengamat bergerak
melaluinya pada saat mengamati Kota Toboali dan disepanjang jalur tersebut
elemen-elemen lingkungan lainnya tersusun dan dihubungkan. Path merupakan elemen yang paling pentingdalam image kota yang menunjukkan rute-rute sirkulasi yang biasanya
digunakan orang untuk melakukan pergerakan secara umum, yakni jalan, gang-gang
utama, jalan transit, lintasan kereta api, saluran dan sebagainya. Path mempunyai identitas yang lebih baik
kalau memiliki identitas yang besar
(misalnya jalan menuju Kawasan Perkantoran Terpadu Pemkab Bangka
Selatan, koridor jalan menuju ke taman benteng/Bhayangkara, dan lain-lain),
serta ada/penampakan yang kuat (misalnya fasade, pohon, dan lain-lain), atau
belokan yang jelas.
Elemen pembentuk citra kota yang kedua adalah Edges
yang merupakan batas, dapat berupa suatu desain, jalan, sungai, gunung. Edge memiliki identitas yang kuat karena
tampak visualnya yang jelas. Edge
merupakan penghalang walaupun kadang-kadang ada tempat untuk masuk yang
merupakan pengakhiran dari sebuah district
atau batasan sebuah district dengan
yang lainnya. Edge memiliki identitas
yang lebih baik jika kontinuitas tampak jelas batasnya. Demikian pula fungsi
batasnya harus jelas : membagi atau menyatukan.
Contoh : adanya jalan dua
jalur yang membatasi dua batasan wilayah deliniasi perkotaan Toboali dengan
hinterlandnya, misalnya batasan antara Kota Toboali dengan Desa Bikang atau
batasan antara koridor jalan menuju komplek perkentoran terpadu Kab. Bangka
Selatan dengan koridor jalan kawasan perdagangan atau Kota Lama Toboali.
Selanjutnya salah satu elemen pembentuk citra kota
menurut Lynch adalah Districts yang
merupakan suatu bagian kota mempunyai karakter atau aktivitas khusus yang dapat
dikenali oleh pengamatnya. District memiliki bentuk pola dan
wujud yang khas begitu juga pada batas District
sehingga orang tahu akhir atau awal kawasan tersebut. District memiliki cirri dan karakteristik
kawasan yang berbeda dengan kawasan disekitarnya. District juga mempunyai identitas yang lebih baik jika batasnya
dibentuk dengan jelas tampilannya dan dapat dilihat homogen, serta fungsi dan
komposisinya jelas. Contoh : kawasan perdagangan, kawasan permukiman, daerah
pinggiran kota, daerah pusat kota, misalnya koridor di sepanjang Jalan dari
Tugu Nanas menuju Pelabuhan atau Kawasan Benteng Toboali.
Nodes adalah elemen pembentuk citra kota yang keempat. Nodes Merupakan simpul atau lingkaran
daerah strategis di mana arah atau aktivitasnya saling bertemu dan dapat diubah
kearah atau aktivitas lain, misalnya persimpangan lalu lintas, stasiun, lapangan
terbang, jembatan, kota secara keseluruhan dalam skala makro besar, pasar,
taman, square, tempat suatu bentuk perputaran pergerakan, dan sebagainya. Node
juga merupakan suatu tempat di mana orang mempunyai perasaan ‘masuk’ dan ‘keluar’
dalam tempat yang sama. Node mempunyai identitas yang lebih baik jika tempatnya
memiliki bentuk yang jelas (karena lebih mudah diingat), serta tampilan berbeda
dari lingkungannya (fungsi, bentuk). Contoh: persimpangan jalan. Tugu Nanas
antara Kota Lama Toboali dengan Jalan menuju Pelabuhan Sadai.
Elemen pembentuk citra kota yang terakhir adalah Landmark
yang merupakan simbol yang menarik secara visual dengan sifat penempatan yang menarik
perhatian. Biasanya landmark
mempunyai bentuk yang unik serta terdapat perbedaan skala dalam lingkungannya.
Beberapa landmark hanya mempunyai
arti di daerah kecil dan hanya dapat dilihat di daerah itu, sedangkan landmark lain mempunyai arti untuk keseluruhan
kota dan bisa dilihat dari mana-mana.
Landmark adalah elemen penting dari bentuk kota karena membantu orang
mengenali suatu daerah. Selain itu
landmark bisa juga merupakan titik yang menjadi ciri dari suatu kawasan.
Misalnya : Monumen (Tulisan : SELAMAT DATANG DI KOTA HABANG di
titik tertinggi Kota Toboali = Gunung Muntai)
Lantas bagaimana dengan 5 (lima) elemen yang telah
diuraikan diatas dengan kesan Kota Toboali? Apakah Kota Toboali setelah 15
(lima belas) tahun menjadi Ibu Kota Kabupaten Bangka Selatan telah memberikan
warna citra kota yang membuat orang terkesan? Tentunya tulisan sederhana ini
hanya merupakan masukan ataupun saran bagi pengambil kebijakan, instansi
perencana dalam Hal ini Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan
Daerah Kab. Bangka Selatan maupun eksekutor pembangunan infrastruktur dalam
pimpinan Bupati Terpilih 2016 –2021, bagaimana merumuskan kebijakan dan
strategi untuk mewujudkan kota yang benar-benar memberikan warna citra kota
sesungguhnya yang menurut penulis dapat segera dilakukan dalam waktu yang tidak
terlalu lama atau setidaknya dalam 5 (tahun) masa jabatan. sukses dan terus
berjuang bersama untuk membangun.
“Yo….Kite Hame-hame Begawe Wujudkan Bangka Selatan Mandiri, Maju, Sejahtera dan
Berdaya Saing”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar